Arsip untuk Mei, 2009

24
Mei
09

THE UPSTAIRS


The Upstairs dibentuk pada bulan Oktober 2001 di Jakarta oleh Jimi Multhazam (vokalis) dan Kubil Idris (gitar) dengan pengaruh musikal dari band-band new wave seperti A Flock Of Seagulls, Devo, Depeche Mode, hingga Joy Division. Menyusul bergabung beberapa bulan kemudian, seorang drummer band metal bernama Beni Adhiantoro dan belakangan bassist Alfi Chaniago. Kebetulan kesemuanya adalah mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Awal 2002 The Upstairs merilis ep bertitel Antahberantah secara do-it-yourself dalam format kaset dan CD yang ludes 300 keping dalam waktu singkat. Ini dilanjutkan dengan serangkaian live performances mereka di Jakarta, Bandung dan Jogjakarta.

Selain karena ciri musikal mereka yang danceable, lirik-lirik lagu yang implisit dan jenial, The Upstairs juga terkenal karena kharisma frontman mereka, Jimi Multhazam yang eksentrik dan pandai bersilat kata jika sedang manggung. Uniknya, style musik yang diusung The Upstairs ini telah jauh lebih dulu muncul sebelum ledakan global new wave revivalist yang dipopulerkan band-band seperti Franz Ferdinand, The Killers, The Bravery, Kaiser Chiefs, Bloc Party dan sebagainya. Pendeknya, The Upstairs memang bukan band yang mengekor trend musik global, mereka justru ikut membidaninya. Sebuah hal yang cukup langka di tanah air ini.

Setelah melalui serangkaian reformasi dalam line-up, kini formasi tersolid The Upstairs adalah Jimi Multhazam (vocals), Kubil Idris (guitar), Beni Adhiantoro (drums), Alfi Chaniago (bass & keyboards), Elta Emmanuella (keyboards & synths) dan Dian Maryana (backing vocal).

The Upstairs merilis debut CD mereka yang bertitel Matraman di bawah independen label Sirkus Rekord pada tanggal 14 Februari 2004. Tepat di malam Valentine tersebut mereka menggelar pula record release party di BBs Bar, Menteng, Jakarta. Acara pesta rilis album itu kemudian tercatat sebagai gig paling ramai yang pernah diselenggarakan di bar sempit namun legendaris tersebut. 100 keping CD Matraman pun ludes dalam hitungan dua jam saja di acara tersebut.

Sebulan kemudian The Upstairs merilis video musik singel pertama mereka Apakah Aku Berada Di Mars atau Mereka Mengundang Orang Mars yang disutradarai The Jadugar (Sutradara Terbaik MTV Indonesia Awards 2003) di MTV Indonesia. Singel ini juga menerima heavy rotation airplay dan sempat menduduki posisi teratas di berbagai charts stasiun radio di pulau Jawa selama beberapa minggu. Begitu pula halnya dengan singel kedua Matraman yang rilis dua bulan kemudian.

Dua singel tersebut menjadi indie hits dan mengakibatkan album Matraman diburu banyak orang. Sayangnya, keterbatasan distribusi indie label membuat album ini sulit didapatkan di pasaran. Untuk menanggulangi permintaan yang meninggi, bulan Agustus 2004 album Matraman dirilis dalam format kaset dengan distribusi nasional via label RNB. Album debut yang menuai banyak pujian dari kritikus lokal ini kemudian oleh majalah MTV Trax ditetapkan sebagai salah satu The Best Indie Album 2004. Majalah HAI di akhir tahun 2004 bahkan memilih The Upstairs sebagai The Best Indie Band 2004.

Seiring dengan demam Matraman di Jakarta, The Upstairs pun makin sering tampil di berbagai pentas seni (pensi) yang digelar SMA-SMA di Jabotabek bersama artis-artis papan atas Indonesia. Nyatanya, semua panggung Pensi SMA bergengsi di Jakarta telah dijelajahi oleh band ini. Akibatnya, Februari 2005 Majalah HAI kemudian memilih The Upstairs sebagai salah satu Band Raja Pensi 2005. Sebuah konser tunggal The Upstairs yang digelar 9 Januari 2005 di De Basic Bar, Jakarta juga menuai sukses besar. 500 tiketnya sold-out hanya dalam waktu 2 jam saja. Fan base The Upstairs pun kian berkembang dan bertambah banyak setiap harinya.

Maret 2005 The Upstairs diminta oleh FFWD Records untuk berpartisipasi di album soundtrack film Catatan Akhir Sekolah bersama Mocca, Seringai, Pure Saturday dan sebagainya. Di album ini The Upstairs menyumbangkan singel terbaru mereka yang berjudul Gadis Gangster. Teramat padatnya jadwal tur konser ke Surabaya, Malang, Jogjakarta, Semarang dan kota-kota lainnya di Jawa mengakibatkan proses penggarapan album baru The Upstairs tersendat-sendat.

Hampir sebagian besar waktu The Upstairs di tahun 2005 dihabiskan di atas panggung. Bermaksud melangkah ke level selanjutnya, The Upstairs menyebarkan demo empat lagu baru mereka ke berbagai label rekaman terkemuka Indonesia untuk membuka kemungkinan bekerjasama. Gayung bersambut, seorang sohib lama yang kemudian bekerja sebagai A&R Warner Music Indonesia, Agus Sasongko, menawarkan kontrak eksklusif bagi The Upstairs.

Akhirnya, pada 19 September 2005 The Upstairs resmi teken kontrak satu album dengan major label Warner Music Indonesia. Proses rekaman album terbaru telah dilakukan sejak Desember 2005 hingga Februari 2006 di Studio Aluna, Kemang yang dimiliki komposer tenar Erwin Gutawa. Proses mixing sendiri dilakukan di Studio A System dengan sound engineer maestro musik elektronik, Andy Ayunir dan mastering oleh Hok Laij di Musica Studio. Album ini rilis Maret 2006.

Keyboardist Elta Emanuella pada tanggal 7 Oktober 2007 secara resmi mengundurkan diri dari band karena ingin melanjutkan studinya di luar negeri. Akhirnya setelah lebih dari setahun menjadi lima sekawan, THE UPSTAIRS pada akhir November 2008 memutuskan untuk melantik additional keyboardist Adink Permana sebagai personel keenam mereka. Mantan gitaris Klarinet sekaligus pianis Tantrum ini mengisi posisi yang ditinggalkan oleh Elta Emanuella.

Adink pertama kali membantu pementasan The Upstairs pada bulan November 2007 di sebuah program televisi nasional bertajuk “Let’s Dance.” Masih di bulan yang sama Adink juga ikut membantu proses rekaman 12 lagu baru di album penuh ketiga The Upstairs yang bertitel Magnet! Magnet! di dE Studio, Jakarta.

Setelah bergabungnya seorang keyboardist tetap ke dalam band akhirnya line-up The Upstairs selengkapnya sekarang terdiri dari Jimi Multhazam [vocal], Andre Kubil Idris [gitar], Beni Adhiantoro [drums], Alfi Chaniago [bass & synth], Dian Maryana [backing vocal] dan Adink Permana [keyboardist]. Akhir Maret 2009 The Upstairs merilis album penuh terbaru mereka sejak 2006 yang bertitel “Magnet! Magnet!” di bawah label Magnet Music/Demajors.

17
Mei
09

Holy City Roller : Lebih Mudah Berbahasa Inggris

Jakarta – Semakin banyak band-band Indonesia yang berpotensi untuk go international dengan lirik berbahasa Inggris dalam lagu-lagunya. Band Holy City Roller mengaku menggunakan lirik berbahasa inggris karena tidak ingin merusak musik Indonesia. Lho?

Mesa, sang vokalis Holy City Roller mengungkapkan bahwa mereka lebih mudah menggunakan lirik berbahasa Inggris. “Kita gak bisa nemuin kata-yang tepat untuk bikin lirik pakai bahasa Indonesia, takutnya nanti malah ngerusak,” ujarnya saat mengunjungi kantor detikhot baru-baru ini.

Band yang pernah terpilih sebagai Gulali Artist of the Month versi Radio Mustang pada Februari 2007 itu terbentuk sejak 2005 dengan nama Intruders. Namun di awal 2006 meraka bermasalah dan salah satu personelnya keluar. Mereka pun merekrut Andrew untuk membuat band baru bernama The Guide, tapi kemudian diganti menjadi Holy City Roller.

Musik Holy City Roller sendiri banyak dipengaruhi band-band luar seperti The Beatles dan The Strokes, tetapi ada juga band lokal seperti Naif. “Musik kita isinya ngomongin cewek juga iya, cerita tentang kehidupan, kritik sosial, ada juga tentang kebohongan,” ujar Andrew sang gitaris.

Dengan single yang berjudul ‘Another Song For Her’, band yang sempat mengisi soundtrack film ‘Radit & Jani’ pada Januari 2008 itu cukup senang dengan penjualan album mereka yang mencapai 1.000 keping, walaupun target market mereka terbatas.

“Berati ada 1.000 orang yang punya CD kita, itu udah cukup hebat ya. Soalnya awal-awal kita itu niatnya nggak benar-benar ngeband mau bikin album gitu,” kata Imam. “1.000 orang itu pengen gue peluk tuh satu-satu! hehe..” tambah Mesa sambil tertawa.
(yla/yla)

Sumber: detikhot.com

17
Mei
09

Pee Wee Gaskins

Donald “Pee Wee” Gaskins adalah salah seorang pembunuh tersadis dalam sejarah. Tercatat kurang lebih 100 kasus pembunuhan dilakukan olehnya. Tapi bukan itu pembahasan kita sekarang. Dengan mengambil nama Pee Wee Gaskins, sebuah band salah Jakarta mencoba mencari arti filosofis dari nama band mereka. Pee Wee, yang berarti kecil, tapi bisa mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Dan band yang merasa masih kecil ini berharap bisa menjadi besar, tapi tentu saja bukan dengan cara membunuh.

Inilah mereka, Pee Wee Gaskins! Band yang dimotori oleh Dochi (gitar&vokal), Sansan (gitar&vokal), Omo (synthesizer), Aldy (drum), Eye (bass) ini baru saja mengeluarkan album kedua mereka. Setelah sukses dengan album sebelumnya, Stories From Out Highschool Years di tahun 2000, kini mereka punya senjata baru. Berbekal nama The Sophomore, album ini sangat terasa penuh semangat. Tengok langsung lagu andalan di track no 2 yang berjudul Welcoming The Sophomore. Nuansa remaja terasa kental di lagu berbahasa inggris ini, teriakan ala cheerleader bersahut-sahutan dengan beat penuh semangat dan bunyi-bunyian synthesizer. Bangun siang, buka jendela kamarmu, cuci muka, segera berangkat ke kampus, dan tinggalkan kamar berantakanmu itu. Seolah itulah gambaran suasana lagu ini. Penuh semangat untuk menyambut yang akan datang. Selanjutnya menunggu anda, Di Balik Hari Esok, lagi-lagi lagu penuh semangat. Coba intip liriknya,

Kunyalakan tv dan tenggelamku di layar kaca
Membawaku kembali pada waktu itu
Ciuman pertama yang kau rasa
Semua berlalu tanpa terasa

Vokal bersahutan dan saling mengisi memang menjadi warna khas Pee Wee Gaskins. Part gitar yang padat dan penggunaan bebunyian synthesizer yang catchy menjadi ramuan yang sangat segar. Tatiana dan Berdiri Terinjak adalah 2 lagu dari album perdana mereka. Khusus untuk Berdiri Terinjak, mereka menggandeng Saski, penyanyi remaja yang juga baru menanjakan karirnya kembali. Pemilihan yang tepat, karena suara vokal Saski terdengar sangat pas dipadukan dengan musik yang diusung gerombolan anak muda ini.

Dengan total 13 track, terdiri dari sebuah intro, 8 lagu berbahasa inggris, 4 lagu berbahasa indonesia, anda juga bisa menemukan sedikit part akustik dari lagu Di Balik Hari Esok yang disembunyikan oleh mereka. Kurang? Coba cek sleeve albumnya. Selain sedikit masalah pada ukuran font penulisan liriknya yang terlalu kecil, rasanya tidak ada masalah serius. Bahakan DW menilai sleeve album ini cukup unik. Warna kuning dan oranye mendominasi, dengan gambar seorang pria berkacamata dan memegang buku, berdiri diatas tumpukan barang dan menatap mentari terbit.

17
Mei
09

Sore


Sore hari adalah waktu yang paling indah untuk mendengarkan musik, di mana lembayung merah di angkasa mampu menggugah setiap sudut gelap batin manusia yang terkalahkan oleh waktu dan memancarkan sinar terang alami di kala hati sedang berharap. Bisa dikatakan bahwa sore hari adalah saat di mana kita melepaskan segala beban yang ada di benak, dan mulai berinteraksi dengan pada yang ada dalam ketenangan jiwa.
Dan berdasarkan atas pemikiran konsep ini serta kecintaan masing-masing personil akan ketenangan petang hari, SORE didirikan sebagai suatu bentuk perwujudan dari lima kawan lama yang telah membina kepercayaan dan animo masing-masingnya untuk bersatu menggabungkan pemikiran dan menuangkan segala jenis beban mereka dalam bentuk musik.
SORE berawal dari perjalanan dasar ketiga personil awalnya, yakni Awan Garnida, Ade Firza, dan Ramondo Gascaro dalam menempuh pendidikan, mulai dari Perguruan Cikini hingga Los Angeles, Amerika Serikat. Awal 1991, Awan Garnida kembali ke Indonesia untuk melanjutkan pendidikannya, dan saat itulah dia bertemu dengan Gusti Pramudya.
Pada pertengahan tahun 1996, Ade Firza dan Ramondo Gascaro kembali ke Indonesia, dan bergabung dengan Awan Garnida dan Gusti Pramudya untuk membentuk suatu proyek musik yang dinamakan BAHAGIA. Namun karena harus kembali ke Los Angeles untuk melanjutkan proses belajarnya, Ade Firza meninggalkan mereka, tapi dia memberikan satu konsep lagu yang diberi judul ‘Awan Lembayung’ sebelum berangkat, yang sebelumnya sempat direkam dalam bentuk demo. Lagu inilah yang menjadi awal perjalanan musikalitas dari SORE.
Dan ketika Ade Firza sudah menyelesaikan masa belajarnya, dia kembali bergabung dengan kawan-kawan lamanya, dan juga bertemu dengan satu kawan baru bernama Reza Dwiputranto, yang memegang posisi gitaris. SORE pun lahir sebagai saluran semua ide masing-masing personil, yang bersatu dan membaur dalam bentuk musik pop dengan sentuhan absurd-eclectic.
Dalam album pertamanya yang berjudul Centralismo, yang dirilis oleh Aksara Records, dapat didengar bahwa SORE adalah sebuah band yang unik, di mana selain kelima personilnya semua bernyanyi (dalam arti vokal utama tentunya), masing-masing personilnya juga memiliki karakter yang berbeda, dan ini dapat dilihat dari cara penulisan lagu yang ada. Seperti dalam lagu Lihat, single pertama dari Centralismo, yang ditulis oleh Ade Firza, Ramondo Gascaro, dan Gusti Pramudya. Ketiga ide personil ini bersatu, dan membentuk suatu karakter baru dengan gaya rock jazz retro, dan sentuhan harmonisasi yang bagus. Lain lagi dengan lagu Aku, lagu terakhir dalam album ini. Lagu ini ditulis oleh Reza Dwiputranto, dan hanya dua personil saja yang terlibat dalam proses rekamannya. Jadi, bisa dikatakan juga bahwa SORE adalah sebuah band yang tidak terikat pada norma-norma, tapi memberikan kebebasan kepada masing-masing personil dengan karakter sendiri yang bertanggung jawab. The Jakarta Post menyebut SORE sebagai ‘the best working band in Jakarta and certainly the most interesting’ (The Jakarta Post, October 9, 2005).
Centralismo sendiri adalah sebuah album yang didedikasikan untuk wilayah Jakarta Pusat, di mana memang sebagai besar personilnya dibesarkan dan menimba ilmu. Sebelum Centralismo dibuat, SORE telah merilis satu mini album berjudul Ambang pada tahun 2003 dan tiga single, yakni Etalase (2002), Cermin (2004), dan Funk The Hole (2005). Cermin sendiri masuk dalam kompilasi rilisan Aksara Records, JKT:SKRG, sebuah album kompilasi yang menggambarkan tentang perjalanan musik indie di Jakarta. Sementara itu, Funk The Hole masuk dalam kompilasi OST Janji Joni, masih produksi dari Aksara Records.
Segera setelah merilis album Centralismo, album ini dipilih oleh Time Magazine sebagai salah satu album Asia yang patut dimiliki, ‘It’s an album perfect for those rainy days when all you really want to do is lie back and dream of a simpler time in your life’ (Time, September 12, 2005).
ZE’BAND
AWAN GARNIDA – Vocals & Bass Guitars
ADE FIRZA PALOH – Vocals & Guitars
GUSTI PRAMUDYA – Drums, Acoustic Guitar & Vocals
REZA DWI PUTRANTO – Vocals & Guitars
RAMONDO GASCARO – Keyboard, Piano, & Vocals
(Berbagai sumber)

17
Mei
09

White Shoes & the Couples Company

White Shoes & The Couples Company adalah sebuah band kecil yang sedikit dipengaruhi oleh semangat akustik para musisi classic jazz di tahun 30-an. Dengan classic strings arrangement yang dibubuhi sedikit retro disco, easy listening accoustic ballads & sedikit sentuhan nada dari keyboard mainan anak-anak keluaran akhir 70-an.

AWAL TERBENTUK

Agustus 2002, di sebuah kampus kesenian di bilangan Jakarta Pusat. Dua orang mahasiswa Seni Rupa, Aprilia Apsari (Sari) & Yusmario Farabi (Rio) yang sedang menjalin hubungan asmara, memutuskan untuk membuat sebuah grup musik dengan mengajak teman dekat satu fakultas mereka yang bernama Saleh. Maka terbentuklah formasi pertama grup musik White Shoes & The Couples Company. Sari pada posisi vokal & violin, Rio pada posisi gitar rhythm, serta Saleh pada posisi gitar melodi. Dengan formasi awal ini mereka bertiga tampil pertama kali pada sebuah acara kampus. Namun tampil hanya bertiga bukanlah rencana pertama, karena dari awal sebenarnya Sari & Rio ingin sekali mengajak sepasang suami istri dari fakultas musik, Ricky Surya Virgana (Ricky) & Mela. Tetapi karena sedang sibuk mengajar dan mengisi beberapa orchestra, mereka tak dapat ditemui. Selang beberapa bulan, mulailah sepasang suami istri tersebut bergabung dalam White Shoes & The Couples Company, Ricky pada posisi bass & cello serta Mela pada posisi keyboard, piano & viola.

LAGU

Lagu White Shoes & The Couples Company yang pertama ditulis adalah ‘Runaway Song’ oleh Sari & Rio, lagu berikutnya adalah ‘Windu & Defrina’ , lalu mulai berdatangan lagu-lagu berikutnya seperti ‘Sunday Memory Lane’ & ‘Nothing To Fear For Now’.

MANAGER

Pertemuan grup musik ini dengan managernya, Indra Ameng, adalah cerita yang lain lagi. Mengenal sesosok Indra Ameng sebagai manager tentunya tidak asing, karena sebelumnya Indra Ameng adalah manager band lawas Rumahsakit, yang terkenal di tahun ’90-an, namun pertemuan White Shoes & The Couples Company dengan Indra Ameng bukanlah bukanlah melalui dunia musik, justru mereka bertemu di dunia Seni Rupa, karena selain seorang manager band, Indra Ameng adalah seorang Perupa, dan seorang program koordinator di sebuah artist’ initiative; Ruangrupa.

DRUMMER

Pada awalnya White Shoes & The Couples Company tidak memiliki drummer, dan karena ini Ricky mengusulkan untuk mengajak teman satu fakultasnya yang bernama John Navid a.k.a Lau Kun Sin sebagai additional drummer, namun seiring waktu berlalu dan sesuai dengan kebutuhan, pada tahun 2004 John kemudian menjadi drummer tetap, maka lengkaplah sudah formasi akhir White Shoes & The Couples Company.

ALBUM

White Shoes & The Couples Company merekam albumnya di bawah naungan perusahaan rekaman Aksara Records berisikan 11 lagu. Album diproduksi dalam bentuk CD dan kaset, dirilis oleh Aksara Records dan didistribusikan oleh Universal Music Indonesia.

White Shoe & The Couples Company:

NONA SARI – vocal

TUAN YUSMARIO FARABI – acoustic guitar

TUAN SALEH – electric guitar, backing vocal

TUAN RICKY SURYA VIRGANA – cello, bass

NYONYA MELA VIRGANA – piano, viola, keyboards

TUAN JOHN – drums, vibes

(Berbagai sumber)




Kalender

Yang Sedang Baca…

Mei 2009
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031